Thursday, 4 April 2019

Saat Salah Satu Pintu Syurga Kami Tertutup...

Kamis 14 Februari 2019 menjelang senja
Papa masih sibuk membetulkan jembatan kayu di belakang toko yang memang sudah jabuk. Seruan Mama yang memintanya berhenti karena sudah tarhim pun tidak diindahkan karena merasa tanggung kalau pekerjaannya harus dihentikan saat itu.

Hingga adzan maghrib berkumandang.. saat itulah pekerjaan terpaksa dihentikan karena kaki Papa tertusuk paku. Berdarah.
Tergopoh-gopoh Papa mengobati lukanya. Diberinya alkohol, obat merah, hingga dipukul-pukul yang menurutnya bisa membersihkan luka. Paksaan Mama supaya luka tersebut dibersihkan di klinik terdekat pun ditolak Papa. Keputusan yang mungkin harus disesali keduanya nantinya.. Papa menyesal karena tidak menurut kata Mama. Mama menyesal karena tidak cukup memaksa Papa berobat. Wallahu'alam.

Jum'at 15 Februari 2019
Jam 8 pagi saya dan Rian menjemput keduanya untuk berangkat ke Samarinda. Kami sudah berencana untuk menghadiri acara Niar, adik ipar yang menikah esok Sabtu.
Sebelum berangkat kami sengaja stop di klinik Ibnu Sina. Awalnya Papa keberatan saat kami bilang lukanya akan dibersihkan. Tapi akhirnya pasrah karena kami memaksa. Papa tampak cemas saat proses pembersihan, selalu meminta Mama jangan pergi dari sisinya. Boys will always be boys.

Selesai urusan di klinik sekitar jam 9 kami lanjutkan perjalanan ke Samarinda. Agak tergesa karena mengejar Jum'atan di Islamic Center Samarinda. Alhamdulillah on time.
Setelah Jum'atan lanjut makan siang di Torani, resto andalan kami pecinta seafood.
Kemudian menuju Ulin Guest House yang sebelumnya telah dibooking via Airy untuk kami beristirahat.

Sabtu 16 Februari 2019
Jam 7:30 meluncur ke gedung Al Ishlah tempat acara diadakan. Jam 8:00 akad nikah dimulai dengan Rian sebagai saksi. Jam 11:00 resepsi dimulai hingga menjelang ashar.
Acara ini jadi ajang reuni saya dan Rian dengan teman-teman kuliah, sekaligus ajang silaturahmi bagi Mama Papa dengan keluarga Sangkulirang-Sangatta-Samarinda.




Malamnya lanjut silaturahmi ke keluarga di daerah Lambung sambil Papa membagikan buah rambutan dan elai yang dibelinya di jalan poros sebelum ke Samarinda. Papa memang suka berbagi, terutama makanan. Gak afdol sepertinya kalau gak sharing.


Ahad 17 Februari 2019
Pagi jam 9:00 Bapak Hasan datang ke penginapan mengantar Nuri yang akan ikut mobil kami untuk kembali ke kostnya di Samarinda seberang. Papa sempat mengabadikan momen kami ngumpul sebelum jalan:



Sesampainya di kost Nuri, kami sempatkan masuk karena untuk pertama kalinya Mama Papa ke sana. Papa malah sempat ngobrol dengan ibu kost Nuri.

Setelahnya perjalanan dilanjutkan. Ishoma di Tahu Sumedang km.50



Sampai di Balikpapan lewat tengah hari. Alhamdulillah.

Rabu 20 Februari 2019
Pagi jam 8 saya dan Rian ke rumah Puskib. Rian pamitan dengan Mama Papa sebelum on site penerbangan jam 10 ke Melak. Sebenarnya tadi malam kami sudah kesana, tapi ternyata Mama Papa lagi ke tempat keluarga di Sidodadi. Mereka memang suka silaturahmi ke keluarga atau kenalan jika ada kesempatan, beda banget sama saya :P
Malah infonya Papa sempat adzan Maghrib di Masjid Hayya Alal Falah di Sidodadi sana.

Setelah antar Rian ke bandara saya lanjut ngantor sampai sore.
Malamnya pulang ke rumah Puskib setelah pulang kantor tadi beberes di rumah Azarya. Kalau suami sudah on site saatnya birrul walidayn sama Mama Papa (^.^)v

Kamis 21 Februari 2019
Saya ngantor seperti biasa, sementara rumah Puskib mulai dibongkar untuk renovasi bagian belakangnya. Papa mengirimkan gambarnya via whatsApp.



Mama cerita kalau Papa gak bisa bantu tukang yang bongkaran karena sedang gak enak badan. Papa malah ke puskesmas yang tidak jauh dari rumah.
Malamnya Papa minta dibuatkan bubur karena mulai gak enak makan.

Jum'at 22 Februari 2019
Pagi hari saat membereskan kamar Mama Papa, saya mendapati sikat gigi plastik di kasur. Saya tanya kenapa ada disitu. Mama bilang Papa merasa aneh pada rahangnya, jadi semalam sedia sikat gigi untuk mengganjal kalau tiba-tiba rahangnya tegang dan gak bisa buka mulut. Saya yang mendengarnya gak berfikir macam-macam dan lanjut beberes kamar, kemudian bersiap ke kantor. Saya melupakan teori risk management saat itu :(

Siang saat Jum'atan. Saya sedang bareng teman2 dalam perjalanan kembali ke kantor dari mengunjungi Feny yang baru lahiran, saat Mama menelepon mengabarkan kondisi Papa.
Kata Mama tadi pagi Julak Wati (kakak Papa) datang dan bilang kalau Papa seperti orang dengan gejala stroke karena sulit menggerakkan rahang/kepala. Sudah dibawa ke puskesmas, tapi perawat disana gak bisa menyimpulkan kalau itu gejala stroke, tapi kalau berlanjut disuruh langsung ke IGD.
Papa sedang Jum'atan saat itu. Sebelumnya Mama sudah bilang agar jangan dipaksakan ke Masjid, sholat zuhur aja di rumah. Tapi Papa keberatan kalau menyia-nyiakan Jum'at, jadi Papa tetap bersiap dan pergi ke Masjid An-Nur di belakang rumah memakai tongkat.
Saya memutuskan pulang. Dengan berlinang air mata karena syok mendengar cerita Mama, saya meminta izin kepada atasan untuk meninggalkan pekerjaan yang mendekati deadline (T_T)

Sesampainya di rumah saya ajak Papa periksa ke dokter syaraf di RS. Pertamina. Tapi di perjalanan saya putuskan untuk langsung ke IGD Pertamina karena biasanya antrian pasien dokter syaraf cukup panjang.
Di IGD kami sampaikan ke dokter jaga kondisi Papa yang seperti gejala stroke.Tapi dokter membantah karena Papa bisa menggerakkan tangan dan kakinya dengan baik.
Dokter jaga kemudian merujuk ke dokter THT karena keluhan leher yang tegang sampai gak bisa menelan makanan. Setelah diperiksa, dokter THT bilang palatum (bagian dalam mulut) bengkak jadi susah buka mulut dan menelan makanan. Diminta opname untuk observasi lanjutan.
Ada perasaan lega karena Papa tidak terindikasi stroke.



Malamnya keluarga datang menjenguk. Papa bisa komunikasi tapi terbatas karena tegang di lehernya. Mama yang menemani malam itu menginfokan sepanjang malam Papa tidur gelisah dan banyak keluar keringat padahal AC kamar perawatan cukup dingin.


Sabtu 23 Februari 2019
Pagi jam 9 saya sampai di RS membawa teh dan susu pesanan Papa. Julak Wati dan suami yang infonya mau datang menjenguk sudah ada di ruangan. 
Papa meminta Mama menyendokkan teh ke mulutnya. Sesaat setelah itu Papa mengalami kejang seperti orang yang terkena step. Infusnya pun terlepas menyebabkan darah tersebar di kasur dan lantai ruangan.
Semua panik dan memanggil-manggil perawat. Saya berlari menuju nurse satation.
Perawat segera datang menenangkan Papa. Setelahnya juga datang perawat yang membawa perlengkapan seperti tabung oksigen dan detektor denyut jantung.
Beberapa orang pembesuk dari kamar lain juga berdatangan karena kehebohan yang terjadi. Laa hawla walaa quwwata illa billah.. dzikir terus kami lafadzkan untuk kesembuhan Papa.



Setelah Papa dipasang alat-alat penunjang tadi, situasi menjadi kondusif.
Dokter syaraf datang mengecek kondisinya dan bertanya, "Apakah dalam 1-2 hari pasien ada tanggal gigi?".

"Tidak ada, dokter" jawabku terisak.

Julak kemudian berkata "Pekan lalu pasien ada tertusuk paku".

"Di sebelah mana?" tanya dokter.

Saya tunjukkan bekasnya di telapak kaki kiri Papa.

"Oh ini sudah bersih" kata dokter setelah memeriksanya.

Dokter syaraf pamit keluar kamar berdiskusi dengan dokter jaga. Kemudian dokter jaga memanggil saya selaku anak pasien untuk menandatangani surat persetujuan pemindahan Papa ke ruang ICU.

"Nanti setelah pasien stabil kita lakukan CT scan. Tapi kita juga harus bersiap untuk kemungkinan terburuk", dokter jaga menyampaikan dengan hati-hati.
Tapi saya cukup mengerti maksud beliau. Apalagi saat itu saya juga mencari tahu apa sebenarnya penyakit Papa. Tetanus.
Dengan sesenggukan saya sampaikan kabar ke mbak Icha di Bandung dan adik-adik di Malang agar segera pulang.



Sebelum tengah hari Papa dipindahkan ke ruang ICU. Mama bilang Papa bertanya jam berapa saat itu, karena beliau mau Zuhuran. Saya yang mendengar cerita itu yakin Allah akan menjaga Papa karena Papa selalu menjaga sholatnya O:)

Keluarga besar berdatangan ke ruang tunggu ICU, menemani dan menguatkan Mama. Bersyukur keluarga besar kami di Balikpapan, support system terpenting saat itu.
Hingga sore kondisi Papa belum juga stabil. Saya permisi pergi sebentar menjemput adik-adik di bandara, sekalian membeli makan malam untuk Mama. 

Maghrib saya kembali ke RS bersama adik-adik. Aby bergegas masuk ke ruang ICU. Tidak lama kemudian dia keluar sambil menangis. Papa menyadari kedatangannya namun tidak bisa mengatakan apapun, hanya isyarat tangan agar mendo'akannya (T_T).
Berikutnya Dea yang masuk ke ruang ICU, agak lama. Saat keluar Dea juga menangis. Mama menenangkan kami dengan mengajak kami terus berdzikir dan mendo'akan Papa:

"Agar Allah beri kami kesempatan beribadah bersama-sama lagi. Namun jika yang terbaik adalah berpulang kepadaNya, agar diberikan husnul khotimah. InsyaAllah kami ikhlas".

Waktu Isya keluarga besar berangsur pulang. Jam 9 malam Mbak Icha dan anak-anak datang ke RS langsung dari bandara. Anak-anaknya terpaksa ditinggal di luar dengan Dea, lalu dia bergegas ke ruang ICU. Jam besuk sudah lewat namun kami memohon agar dia bisa masuk. Syukurlah boleh.
Mbak Icha mengalami seperti Aby tadi, Papa hanya mengisyaratkan "Do'akan Papa".
Tangis kami tak terbendung saat kejangnya kembali kumat. Kondisi Papa makin drop. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain pasrah dan berdo'a.
Mama menyuruh Mbak Icha dan anak-anaknya pulang beristirahat karena hari sudah larut. Saya dan Dea juga. Mama, Aby, dan Dinda (keponakan Mama) yang standby di RS.
Kami sampai di rumah hampir jam 12 malam.



Ahad 24 Februari 2019
Jam 1 dinihari. Anak-anak sudah terlelap. Saya, Dea, dan Mbak Icha sedang bersiap untuk tidur, saat chat dari Aby masuk.. Jantung Papa berhenti, sedang dilakukan pompa jantung. Ya Allah..

Bergegas kami boyong anak-anak masuk ke mobil, kembali ke RS. Sepanjang jalan kami panjatkan do'a dan dzikir.. Papa kuat, Papa bisa bertahan.
Sesampainya di RS, Dea bergegas ke ruang ICU. Saya menyusul kemudian, sementara Mbak Icha tetap di mobil menjaga anak-anak.
Saya mendapati Mama yang walaupun terduduk lemah di kursi, terus berdzikir. Didampingi Dea yang berlinang airmata menggelengkan kepala saat saya dengan ekspresi bertanya kepadanya.. Innalillahi wa innailaihi roji'uun. Seketika saya bersimpuh di pangkuan Mama. Saya tidak menangis saat itu. Mungkin tak percaya dengan yang saya dengar.
Tapi saat saya masuk ke kamar dimana Papa dirawat dan mendapati jenazahnya, disitu tangis saya pecah. Aby disana memeluk jasad dingin Papa sambil menangis.

Papa memang sudah pergi.

Papa sudah gak sakit lagi.

Disitulah keikhlasan kami semua diuji.

Saat salah satu pintu syurga kami tertutup..




Saya kemudian beranjak menuju parkiran. Tangis Mbak Icha tak terbendung saat saya kabari. Saya juga mengabari Rian saat itu, sambil booking penerbangan pagi untuknya kembali.
Dea datang untuk menggantikan Mbak Icha menjaga anak-anak di mobil. Kami berdua kembali ke ruang ICU untuk membereskan barang-barang dan mendampingi mengurus jenazah Papa untuk dipulangkan dengan mobil jenazah.

Mama mengabarkan ke Pak RT sekalian meminta tolong agar tetangga di sana bisa membereskan rumah kami yang berantakan karena sedang direnovasi.
Jam 3 dinihari kami sampai di rumah. Mendapati tetangga sedang memasang tenda di depan rumah, dan rumah sudah dirapikan, kami merasa sangat bersyukur tinggal di lingkungan ini.
Setelah membaca do'a untuk jenazah dipimpin oleh Julak, kami berkoordinasi dengan pengurus RT mengenai persiapan hingga pemakaman jenazah. 

Jam 7 pagi tetangga mulai berdatangan.
Tidak ada yang percaya Papa yang nampak sehat dan sering menyapa tetangga, telah tiada.
Tidak ada yang menyangka rumah yang sedang kami renovasi, saat itu juga menjadi rumah duka.
Tidak pernah diduga sakit 2 hari merupakan cara Allah memanggil Papa kembali.
We love him but Allah loves him more.

Jam 10 pagi jasad Papa dimandikan. Pas saat Rian dan mas Panca datang dari lokasi kerja.
Setelah itu disholatkan oleh keluarga. Ba'da zuhur lanjut disholatkan di Masjid An-Nur.






Alhamdulillah separuh mesjid terisi jamaah yang mensholatkan Papa, dan banyak juga yang ikut mengantarkan ke kubur yang lokasinya jauh dari rumah. Mama memilih di TPU Kariangau karena tempatnya rapi. Disana juga keponakan Papa yang juga sepupu kami, Ananda, dimakamkan. Papa sering ziarah kesana semasa hidupnya.

Prosesi pemakaman berjalan lancar. Langit Balikpapan yang belakangan panas terik saat siang hari karena sudah hampir sebulan tidak ada hujan, saat itu Alhamdulillah teduh. InsyaAllah penanda Papa husnul khotimah.


Airmata kami terus mengalir, apalagi saat jasad Papa mulai ditutupi tanah. Mama yang selama ini tampak tegar dan kuat pun lunglai, tak kuat berdiri. Stay strong, Mom. We're still here to take care of you.




Duka mendalam menyelimuti rumah kami beberapa hari ke depan. Kolega dan teman-teman Papa yang datang ta'ziah terus menceritakan kebaikan beliau yang mereka kenal. Papa sering sharing tulisan di WhatsApp. Sering juga menawarkan makanan yang gak seberapa kepaada mereka di kantor. Kami paham sekali kebiasaan beliau yang satu itu, Papa gak akan makan sebelum menawarkan kepada kami makanan yang ada padanya. He cares about others, too care sometimes. And we'll miss the way he treats us, for sure.

Sekarang 40 hari telah berlalu tanpamu, Pap. Tidak ada sehari pun kami lewatkan tanpa mendo'akan Papa disana. Papa orang baik, insyaAllah ditempatkan di tempat terbaik disisiNya, dijauhkan dari fitnah kubur, dan senantiasa dilimpahi rahmatNya. Aamiin.





Till we meet again in Jannah,




Dhy & all family

2 comments:

  1. Innalillahi wainailahi rojiun, ikut berduka mbak dhi.

    semoga papanya mbak dhi Allah tempatkan bersama orang2 sholeh di syurgaNya, aamin.

    ReplyDelete
  2. InsyaAllah, aamiin Allahuma aamiin..
    Syukron atas ucapan & do'a nya yaa :)

    ReplyDelete